A. TUBAN
SAAT PEMERINTAHAN AIRLANGGA
Airlangga jadi raja Medang (1019 —
1041) sesudah negeri itu dirusakkan musuh. Kemudian Airlangga mendirikan kraton
baru di Kahuripan. Kemakmuran rakyat diperhatikannya benar. Aliran sungai
Brantas diperbaikinya, sehingga perahu-perahu dapat berlabuh dengan tenang dan
aman di Hujung Galuh, pelabuhan Kahuripan yang makmur pada masa itu. Karena
Hujung Galuh menjadi pelabuhan utama untuk perniagaan antar pulau, maka
pelabuhan antar Negara ditempatkan di KAMBANG PUTIH, yakni di atau dekat Tuban,
yang sekarang. Oleh Airlangga diambil sejumlah tindakan untuk memajukan
perniagaan di sana. Antara lain pembebasan dari beberapa jenis pajak.
Orang-orang asing yang berdagang di sana berasal dari jauh. Menurut daftar yang
terdapat dalam prasasti prasasti, Airlangga termasuk pedagang dari India Utara,
India Selatan, Birma, Kamboja dan Campa. Hal yang menarik perhatian kita, ialah
ketiadaan orang-orang Tionghwa dalam daftar tersebut.
Rupanya hal ini disebabkan karena
Tiongkok, di mana perniagaan luar negeri menjadi urusan pemerintah,
semata-mata berdagang dengan Sriwijaya seperti dahulu. Pelabuhan Tuban menurut
pengaturan jalan-jalan menghubungkan kota tersebut dengan pusat negara yang
mungkin sekali letaknya agak ke dalam. Sejumlah prasasti dari zaman Airlangga
yang didapat di daerah Babat, Ngimbang dan Ploso, menunjukkan bahwa justru
daerah melalui jalan dari Tuban ke Babat menuju ke Jombang mendapat perhatian
yang besar dari Airlangga.
B. BUKU
YING YAI SHENG LAN
Berita Tionghwa yang sangat penting,
adalah uraian Ma Hua dalam bukunya Ying Yai Shing Lan. Ma Huan adalah orang
Tionghwa beragama Islam, yang mengiringi Cheng Ho dalam perjalanannya yang
ketiga (1413 —1415) ke daerah-daerah lautan selatan. Kecuali soal-soal mengenai
keadaan berbagai daerah yang ber-hubungan dengan kedudukan politiknya, yang
sangat menarik perhatian adalah uraian Ma Huan tentang keadaan kota Majapahit
dan rakyatnya. Kalau orang pergi ke Jawa, katanya, kapal-kapal lebih dahulu
sampai ke Tuban. Kemudian dengan melalui Gresik yang banyak penduduknya
Tionghwa, orang tiba di Surabaya. Di sini orang pindah ke perahu-perahu kecil
berlayar ke Canggu. Melalui jalan darat, orang kemudian pergi ke arah selatan
dan tibalah orang di Majapahit, tempat kediaman sang raja. Kotanya dikelilingi
tembok tinggi yang dibuat dari bata, dan penduduknya sejumlah kira-kira 300.000
orang. Sang raja kepalanya terbuka, atau tertutup dengan mahkota dari emas,
memakai kain dan selendang, tidak berterompah dan selalu membawa satu atau dua
bilah keris. Kalau keluar ia naik gajah atau kereta yang ditarik oleh lembu.
Rakyatnya pun memakai kain dan baju, dan tiap orang laki-laki mulai anak
berumur 3 tahun memakai keris, yang hulunya indah sekali, terbuat dari emas,
cula badak atau gading. Kalau mereka bertengkar sekejap saja mereka sudah siap
dengan kerisnya. Mereka biasa makan sirih, senang mengadakan perang-perangan
dengan tombak bambu pada perayaan-perayaan, suka bermain-main bersama waktu
terang bulan dengan disertai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran
antara golongan wanita dan pria, gemar pula menonton wayang beber (wayang yang
adegan-adegan ceriteranya digambar di atas sehelai kain, kemudian dibentangkan
antara dua belah kayu.dan diceriterakan isinya oleh dalang). Penduduk Majapahit
terdiri atas tiga golongan ; orang-orang Islam yang datang dari barat dan
mendapatkan mata pencaharian di ibu kota, orang Tionghwa yang banyak pula
memeluk agama Islam dan rakyat lebihnya
yang menyembah berhala dan tinggal bersama dengan anjing mereka.
C. BUKU
LING WAI
TAl TA
Dari hasil-hasil kesusasteraan dapat
pula diketahui sedikit ba-gaimana keadaannya dalam zaman Kediri. Tetapi masih
menarik perhatian ialah keterangan-keterangan yang terdapat dalam berita-berita
Tionghwa. Kitab Ling wai tai ta yang disusun oleh Chou Ku Fei dalam tahun 1178
memberikan gambaran yang tidak didapat dari lain sumber tentang pemerintahan
dan masyarakat Kediri. Dikatakan misalnya, bahwa orang-orang memakai kain
sampai di bawah lutut, sedangkan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya sangat rapi
dan bersih. Lantainya dari ubin yang berwarna hijau dan kuning. Pertanian,
peternakan dan perdagangan mengalami kemajuan dan perhatian dari Pemerintah.
Pun ada pemeliharaan ulat sutra dan kapas. Hukuman badan tidak ada, orang-orang
yang bersalah didenda dan pembayaran berupa emas, kecuali pencuri dan perampok
yang dibunuh. Untuk perkawinan, keluarga anak perempuan menerima maskawin
berupa sejumlah emas. Alat pembayaran adalah mata uang dari perak. Orang sakit
bukan menggunakan obat, melainkan memohon sembuh kepada dewa-dewa dan kepada
Budha Tiap bulan ke 2 diadakan pesta air, dan orang ber-perahu-perahu penuh
kegembiraan; tiap bulan 10 perayaan ber-langsung di gunung dan orang
berduyun-duyun ke sana untuk ber-senang-senang. Alat-alat musiknya terdiri atas
seruling gendang dan gambang dari kayu.
Tentang sang raja sendiri dikatakan,
bahwa ia berpakaian sutra, bersepatu kulit dan memakai perhiasan-perhiasan
dari emas. Rambutnya disanggul di atas kepala. Setiap hari ia menerima
pe-jabat-pejabat dan mengurus pemerintahan. Maka ia duduk diatas , singgasana
yang berbentuk segi empat. Sehabis sidang para pejabat itu menyembah tiga kali,
baru mengundurkan diri. Jika raja ke-luar, naik gajah ataupun kereta, ia
diiringi 500 sampai 700 orang prajurit dan rakyat di tepi jalan semuanya
jongkok sampai raja lewat. Dalam pemerintahan sang raja dibantu oleh 4 orang
menteri terkemuka, yaitu rakryan kanuruhan, rakryan maha mantri i hulu, rakryan
mahamantri i rangga dan rakryan mahapatih. Mereka ini tidak menerima gaji
tetap, tetapi pada waktu-waktu tertentu menerima hasil bumi atau lainnya.
Selanjutnya pemerintahan dilakukan oleh 300 orang pegawai, yang memegang tata
buku dan tata usaha : 1000 orang pegawai rendahan bertugas mengurus per-bentengan,
perbendaharaan negara, gudang-gudang persediaan dan keperluan-keperluan para
prajurit. Panglima tentara setiap se-tengah tahun mendapat 10 tail emas dan
para prajurit yang ber-jumlah 30.000 mendapat bayarannya setengah tahun sekali
pula dan besarnya gaji sesuai dengan pangkatnya. Demikianlah keterangan yang
diperoleh dari sumber Tionghwa. Hal-hal tersebut juga terdapat dalam Kitab
Chu-fan-chi- oleh Chau-Ju-Kau tahun 1225. Dalam buku tersebut diceriterakan
juga, bahwa di Asia Tenggara ada dua kerajaan yang terkemuka dan terkaya,
pertama ialah Jawa dan kedua Sriwijaya. Di Jawa ada dua macam agama yaitu agama
Budha dan agama para pertapa (maksudnya Hindu). Rakyatnya lekas naik darah dan
berani berperang, kesukaannya ialah mengadu ayam. Mata uangnya dibuat dari
logam campuran tembaga, perak dan timah.
D.
Cikal Bakal Penguasa Negeri Tuban
Cikal bakal yang menurunkan adipati di Tuban
adalah Prabu Banjaransari, raja di Negeri Pajajaran (Atmodiharjo, 1984 :44).
Karena beliau dikarunia banyak putra, dan salah satu dari keturunannya yang
dikemudian hari menurunkan silsilah adipati Tuban.
Kala itu kerajaan Pajajaran yang berpusat di
dekat Ciamis sedang mengalami puncak kejayaan. Kemakmuran dan keadilan
benar-benar dirasakan oleh rakyat mulai dari ibukota kerajaan sampai ke
pelosok-pelosok pedesaan. Prabu Banjaransari yang bertahta adalah sosok yang
sangat bijaksana sehingga dielu-elukan oleh rakyatnya. Kemasyhuran nama Prabu
Banjaransari tidak hanya menjadi buah bibir rakyatnya saja, akan tetapi
keharuman namanya telah merambah sampai ke negeri-negeri manca.
Baginda raja juga dikaruniai banyak
putra dan cucu. Salah satu putra beliau adalah Raden Haryo Metahun.
Berkah dari perkawinannya, R. Haryo Metahun dikaruniai putra bernama
Haryo Randukuning.
Suatu hari Raden Arya Randukuning meminta izin
ayahanda dan ibundanya untuk mengembara jauh ke timur. Tentu saja, niatnya itu
ditolak mentah-mentah oleh kedua orang tuanya. Namun, Prabu Banjaransari ketika
mengetahui alasan cucunya mengembara untuk menyempurnakan ilmu dan menambah
pengetahuan, maka segeralah baginda memberinya restu.
Sejak saat itu Raden Arya
Randukuning meninggalkan kehidupan istana yang serba mewah. Ia memilih
mengembara ke arah timur menyusuri daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa. Tak
peduli siang atau malam, Raden Arya Randukuning terus berjalan menembus
tebalnya hutan jati.
Sesampainya di kaki gunung Kalakwilis, Jenu,
Raden Arya Randukuning bekerja keras membuka hutan Srikandi yang membentang di
sepanjang daerah pantai. Atas kegigihan dan kesaktiannya, hutan itu dalam
waktu sekejap berhasil diubah menjadi perkampungan bahkan akhirnya menjadi
sebuah kadipaten yang diberi nama Kadipaten Lumajang Tengah. Setelah menjadi
adipati di Lumajang Tengah, Raden Arya Randukuning bergelar Kyai Ageng ( Kyai
Gede Lebe Lontang).
Di dalam Babad Tuban dikisahkan, ketika berkuasa di
Lumajang Tengah, Kyai Gede Lebe Lontang berhasil memimpin rakyatnya untuk
menapaki kemakmuran. Stabilitas Kadipaten Lumajang Tengah sangat terjamin
mengakibatkan keamanan dan kemakmuran rakyatnya terjaga. Masyarakat kecil tidak
kekurangan suatu apa. Hewan-hewan piaraan berkembang biak dengan pesat. Walau
hewan-hewan piaraan itu berkeliaran secara bebas, tak seorang pun berani
mengambil yang bukan menjadi hak miliknya. Begitu pula para durjana sama sekali
tidak bisa berkutik karena kewibawaan sang adipati. Beliau mempunya budi
pekerti yang amat luhur dan patut dijadikan teladan bagi para bawahannya. Hal
itulah yang membuat para abdi pemerintah dengan penuh kesadaran menjalankan
roda pemerintahan secara jujur. Kyai Gede Lebe Lontang berhasil menjalankan
pemerintahan di Lumajang Tengah selama ±20 tahun. Kabupaten Lumajang Tengah
itu, sekarang menjadi dusun yang bernama Banjar, Kecamatan Jenu.
Kyai Gede Lebe Lontang dikarunia seorang putra bernama
Raden Arya Bangah. Sesudah ayahandanya mangkat, Arya Bangah menolak untuk naik
tahta menggantikan ayahnya sebagai adipati di Lumajang Tengah. Ia memilih
berkelana bersama pengikutnya ke arah selatan.
Sesampai di kaki pegunungan kapur
Rengel, Arya Bangah dan para pengikutnya bahu-membahu membuka hutan untuk
dijadikan perkampungan. Siang dan malam Arya Bangah dan para pengikutnya
bekerja keras untuk mewujudkan cita-citanya. Setelah berhasil, tempat baru itu
diberinya nama Kabupaten Gumenggeng. Raden Aryo Bangah saat menjalankan
pemerintahan di Gumenggeng selama ±22 tahun lalu meninggal dunia. Bekas
Kadipaten Gumenggeng tersebut sekarang menjadi Pedukuhan Gumeng, Desa
Banjaragung, Kecamatan Rengel.
Raden Arya Bangah mempunyai seorang putra bernama Raden Aryo
Dhandhang Miring. Semenjak muda, Raden Aryo Dhandhang Miring senang menjalankan
tapa brata. Ketika melaksanakan tapa brata itulah Raden Aryo Dhandhang Miring
mendapatkan ilham yaitu setelah ayahnya mangkat, Raden Aryo Dhandang Miring
tidak boleh melanjutkan pemerintahan ayahandanya di Gumenggeng karena
cita-citanya yang mulia dan luhur tidak akan terlaksana. Raden Aryo Dhandang
Miring harus membuka areal hutan sendiri yang terletak di arah barat laut
Gumenggeng. Segala cita-citanya baru berhasil jika putranya kelak membuka hutan
bernama Papringan.
Selanjutnya Raden Aryo Dhandang Miring dan para
prajuritnya menuju ke barat laut untuk membuka hutan bernama Ancer – Ancer.
Setelah hutan tersebut menjadi pemukiman, maka diberi nama Kadipaten
Lumajang. Raden Aryo Dhandang Miring memerintah Kadipaten Lumajang selama ± 20
tahun.
Tersebutlah kisah, tatkala itu Raden
ARYA DANDANG WACANA sedang membuka tanah yang masih berupa hutan bambu
yang bernama Papringan, tanpa diduga – duga sebelumnya muncullah
sebuah keajaiban dengan keluarnya air yang dalam
istilah jawa disebut (meTu) dan (Banyune),dan
jika dirangkaikan menjadi TUBAN.
Peristiwa itu oleh Raden
ARYA DANDANG WACANA dijadikan sebagai tonggak sejarah dalam
memberi nama tanah tersebut dengan namaTUBAN, dan
selanjutnya kita kenal dengan nama Kabupaten Tuban, Sementara itu
sejarah pemerintahan Kabupaten Tuban diawali pada jaman Majapahit, tepatnya
ketika peristiwa agung pelantikan RONGGOLAWE untuk menjadi adipati
Tuban pertama oleh Raja Majapahit RadenWIJAYA. Peristiwa pelantikan itu
dilaksanakan pada tanggal 12 Nopember 1293, yang pada akhirnya
oleh Pemerintah Kabupaten Tuban tanggal 12 Nopember dijadikan sebagai Hari Jadi Tuban.
Versi lain mengenai nama Tuban ini dapat kita lihat
dalam buku Hari
Jadi Tuban (1986:14)
sebagai berikut :
1. Tuban berasal dari kata Watu Tiban. Hal ini dikaitkan dengan sebuah
cerita bahwa ketika kekuasaan Majapahit berakhir, maka harta kekayaan Majapahit
dipindahkan ke Demak. Barang-barang yang dipindahkan ke Demak tersebut
termasuk adalah pusaka yang berbentuk Yoni. Guna memindahkannya, maka dipercayakan
kepada sepasang burung bangau. Sesampai di Tuban, burung-burung tersebut
diolok-olok oleh anak-anak yang sedang menggembala. Tampaknya, sepasang burung
bangau itu tersinggung dan menjatuhkan barang bawaannya. Daerah tempat jatuhnya
batu pusaka tersebut kemudian diberi nama Tuban kependekan dari Wa (Tu) Ti (Ban).
2. Menurut kebiasaan masyarakat Tuban
yang mudah diarahkan untuk melaksanakan tugas guna membangun negerinya.
Sifat-sifat seperti itu dalam bahasa Jawa disebut “Nges (Tu) ake kewaji (Ban).”
3. Menurut bahasa Jawa Kawi, Tuban
berarti Jeram (Wojowasito, 202). Kata Jeram dalam Bau Sastra Djawa-Indonesia
karangan S. Prawiroatmojo diartikan sebagai air lata atau bisa berarti air
terjun.
4. Menurut pendapat Drs. Soekarto
(dalam Hari Jadi Tuban, 1986:17) kata Tuban berasal dari kata Tubo yaitu
sejenis tanaman yang dapat dibuat racun. Hal ini dibuktikan bahwa di sebelah
barat kota Tuban terdapat daerah yang bernama Jenu. Menurutnya, kata Jenu
dan Tubo memiliki arti yang tidak jauh berbeda.
E.
TUBAN, SEJARAH
DAN LEGENDA
(Gambar 1)
Nama 'Tuban' berasal dari sebuah
sumber air tawar yang ditemukan di tempat tersebut2. Peristiwa ini
membuat orang menamakannya 'me(tu) (ban)yu" (keluar air). Sehingga tempat
tersebut kemudian dinamakan Tuban3. Dulunya Tuban bernama Kambang
Putih4. Sudah sejak abad ke-11 sampai 15 dalam berita-berita para
penulis China (pada jaman dinasti Song Selatan 1127-1279 dan dinasti Yuan
(Mongol) 1271-1368 sampai jaman dinasti Ming th.1368-1644 ), Tuban disebut
sebagai salah satu yang diteliti oleh De Graaf, disebut sebagai salah satu
sumber sejarah Tuban. Tapi buku tersebut lebih memuat tentang masalah
pemerintahan serta pergantian penguasa di Tuban, sedang bentuk phisik kotanya
hampir tidak disinggung sama sekali9. Berita catatan tentang bentuk
phisik kota Tuban secara samar-samar didapat dari berita kapal Belanda yang
mendarat di Tuban yang dipimpin oleh Laksamana muda Van Warwijck (Tweede
Schipvaert) pada bulan Januari th. 1599. Dalam berita itu disebutkan bahwa
orang Belanda terkesan sekali oleh kemegahan Keraton Tuban (Graaf, 1985:170).
Selain itu juga terdapat gambar dari alun-alun Tuban10 pada abad ke
16, waktu diadakan latihan Senenan (Gambar 1).
Kota pelabuhan utama di pantai Utara
Jawa yang kaya dan banyak penduduk Tionghoanya. Orang Cina menyebut Tuban
dengan nama Duban atau nama lainnya adalah Chumin. Pasukan Cina-Mongolia
(tentara Tatar), yang pada th. 1292 datang menyerang Jawa bagian Timur
(kejadian yang menyebabkan berdirinya kerajaan Majapahit) mendarat di pantai Tuban.
Dari sana pulalah sisa-sisa tentaranya kemudian meninggalkan P.Jawa untuk
kembali ke negaranya6 (Graaf, 1985:164). Tapi sejak abad ke 15 dan
16 kapal-kapal dagang yang berukuran sedang saja sudah terpaksa membuang sauh
di laut yang cukup jauh dari garis pantai. Sesudah abad ke 16 itu memang pantai
Tuban menjadi dangkal oleh endapan lumpur. Keadaan geografis seperti ini
membuat kota Tuban dalam perjalanan sejarah selanjutnya sudah tidak menjadi
kota pelabuhan yang penting lagi (Graaf, 1985:163).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar