Chaerul Saleh lahir di Sawah Lunto, Sumatera Barat,
13 September 1916. Dia salah seorang tokoh perumus naskah proklamasi. Ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965) itu pernah juga menjabat
Wakil Perdana Menteri III, Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I (13 November
1963-1966). Politisi yang dianugerahi pangkat Jenderal Kehormatan TNI AD, itu
meninggal dalam status tahanan di Jakarta, 8 Februari 1967.
Chaerul
Saleh bersama Wikana, Sukarni dan beberapa pemuda lainnya, menculik Soekarno
dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok untuk mendesak kedua tokoh itu segera
menyatakan dan menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia setelah kekalahan
Jepang dari Sekutu pada Agustus 1945.
Tokoh
proklamasi bernama lengkap Chaerul Saleh Datuk Paduko Rajo, itu mengawali
pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) di Medan dan kemudian diselesaikannya di
Bukittinggi (1924-1931). Kemudian dia melanjutkan ke HBS bagian B di Medan dan
diselesaikannya di Jakarta (1931-1937). Lalu melanjutkan lagi ke Fakultas Hukum
di Jakarta (1937-1942).
Dia
menjabat Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (1940-1942). Kemudian setelah
Jepang menduduki Indonesia, dia jadi anggota panitia Seinendan, dan masuk
menjadi anggota Angkatan Muda Indonesia yang dibentuk Jepang. Namun, kemudian
berbalik menjadi anti Jepang dan bertujuan Indonesia Merdeka. Dia pun ikut
membentuk Barisan benteng, dan anggota PUTERA dan Barisan Pelopor yang
dipimpin oleh Ir. Soekarno. Selanjutnya, dia menjabat Wakil Ketua Gerakan
Angkatan Baru dan Pemuda. Chaerul
Saleh bersama-sama dengan teman-temannya turut aktif dalam persiapan proklamasi.
Presiden RI Pertama (1945-1966)Kemerdekaan RI.
Ia bersama Wikana, Sukarni dan pemuda lainnya dari Menteng 31 menculik Soekarno
dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok untuk mendesak segera menyatakan dan
menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus1945.
Chairul
Saleh bergabung dalam kelompok Persatuan Perjuangan yang dibentuk atas prakarsa
Tan Malaka di Surakarta pada tanggal 4-5 Januari 1946. Semula kelompok
Persatuan Perjuangan itu bernama Volksfront. Hal mana pada tanggal 15-16
Januari 1946 dibentuk Badan Tetap bernama Persatuan Perjuangan (PP). Program
utama PP adalah menolak perundingan tanpa dasar pengakuan kemerdekaan 100%.
Kala itu, PP didukung KNIP dan semua ormas.
Di dalam
sidang KNIP di Solo, 28 Februari - 2 Maret 1946, KNIP menolak kebijakan Perdana
Mentri Syahrir yang cenderung
berunding dengan Belanda dengan hasil yang merugikan Indonesia. Akibatnya,
Kabinet Syahrir jatuh. Persatuan Perjuangan mengharapkan Tan Malaka sebagai
Perdana Mentri. Adam Malik mengajukan permohonan agar mandat diserahkan ke Tan
Malaka, tetapi ditolak Soekarno. Bahkan, Soekarno menunjuk kembali Syahrir
sebagai Perdana Mentri (Kabinet
Syahrir II) yang dibentuk 12 Maret 1946 dengan mengkompromikan sebagian
pendapat Persatuan Perjuangan.
Atas jasanya di bidang kemiliteran, dia mendapat pangkat
Jenderal Kehormatan TNI AD. Dia pun menerima sejumlah bintang jasa, antara lain
Bintang Gerilya, Satyalencana Peristiwa Aksi Militer II, Satyalencana
Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, Bintang Mahaputra Tingkat III, Satyalencana
Satya Dharma, Lencana Kapal Selam RI, dan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu
Kemasyarakatan dari Universitas Hasanuddin.
Tetapi
Persatuan Perjuangan tetap beroposisi. Kemudian pada 17 Maret 1946, beberapa
tokoh politik, terutama dari Persatuan Perjuangan, ditangkap dan ditahan.
Mereka antara lain Tan Malaka, Sukarni, Abikusno Cokrosuyoso, Chairul Saleh, M.
Yamin, Suprapto dan Wondoamiseno. PP pun dibubarkan pada 4 Juni 1946, tetapi
pengikut Tan Malaka tetap meneruskan oposisi. Tanggal 26 Juni 1946 pengikut Tan
Malaka menculik Syahrir. Lalu, 3 Juli 1946 memaksa Soekarno membentuk
pemerintahan sesuai konsep PP. Namun, Soekarno bergeming, tetap menunjuk
Syahrir sebagai Perdana Menteri (Kabinet Syahrir III) yang dilantik pada 2
Oktober 1946.
Kemudian,
Kabinet Syahrir mengadakan Perjanjian Linggarjati di selatan Cirebon pada
tanggal 10 Nopember 1946. Didukung PKI, Pesindo, BTI, Lasykar Rakyat, Partai
Buruh, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Namun, Masyumi,
Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai wanita, Angkatan Comunis Muda (ACOMA),
Partai Rakyat Indonesia, Laskar Rakyat Jawa Barat, Partai Rakyat Jelata
menolak. Sementara, Dewan Pusat Kongres Pemuda tidak menyatakan pendapat untuk
menjaga anggota mereka yang berbentuk federasi.
Pada 27
Juni 1947 Syahrir mengundurkan diri dan digantikan Amir Syarifuddin 3 Juli
1947. Namun tak sampai satu tahun, Kabinet Amir Syarifuddin jatuh karena
mengadakan Perjanjian Renville. Pada 23 Januari 1948, Amir menyerahkan
mandatnya. Sebagai penggantinya, Kabinet Hatta diumumkan 31 Januari 1948. Hatta
berusaha mengakomodasi koalisi Nasasos. Hatta menawarkan tiga kursi kepada
sayap kiri, tetapi mereka menuntut 4 kursi termasuk menteri pertahanan. Hatta
menolak dan akhirnya hanya memberikan satu kursi kepada sayap kiri yakni Supeno
atas nama perorangan sebagai Menteri Pembangunan dan Pemuda. Sisanya diduduki
oleh Masyumi, PNI, Parkindo dan Partai Katolik.
Sementara,
Amir Syarifuddin beroposisi dengan membentuk FDR dan mengadakan pemogokan
Delanggu. Untuk mengimbangi FDR, Soekarno melepaskan Tan Malaka, 3 Juli 1948.
Tan Malaka dan pengikutnya mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner pada tanggal
6 Juni 1948 dengan pimpinan Dr. Muwardi (Ketua), Syamsu Harya Udaya (Wakil
Ketua) dan Chairul Saleh (Sekretaris).
Pada 13
September 1948, Dr Muwardi diculik dan dibunuh PKI. Pecah perang antara Barisan
Banteng (pro GRR) dengan Pesindo (FDR). Pada 17 September Kolonel Gatot Subroto
ditunjuk menjadi Gubernur Militer Surakarta, Madiun, Semarang dan sekitarnya.
Perintah Gatot untuk menghentikan tembak menembak 18 September 1948 tidak
efektif karena di Madiun PKI memberontak dipimpin Muso.
Kemudian
setelah PKI ditumpas, GRR mengadakan manuver politik. M. Yamin menganjurkan
membentuk pemerintahan atas dasar triple platform, agama, nasionalis dan
sosialis, untuk memperoleh dukungan rakyat. GRR pun berkonsolidasi. Pada 3
Oktober 1948, GRR dengan partai sehaluan yakni Partai Rakyat, Partai Rakyat
Djelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Comunis Muda (ACOMA) dan wanita Rakyat berfusi menjadi Murba. Chaerul
Saleh salah seorang tokoh yang bergabung dalam Partai Murba, bersama Adam
Malik, Sukarni, Prijono dan lain-lain.
Ketika
Agresi Militer Belanda II, Desember 1948, Murba bergerilya, Chairul Saleh
dengan Barisan Bambu Runcing di Jawa Barat, Sukarni dan kawan-kawan di Yogya
dan Jawa Tengah, Tan Malaka bergabung dengan batalion Mayor Sabaruddin di Jawa
Timur. Chairul Saleh turut bersama Divisi Siliwangi melakukan Long March dari Presiden RI (1972-1978)Yogyakarta
ke Karawang dan Sanggabuana. Kemudian, dia bergabung dengan Divisi Tentara
Nasional 17 Agustus di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wahidin Nasution.
Karena
tidak setuju dengan adanya KMB, Chairul Saleh melarikan diri dari Jakarta ke
Banten bersama anggota kesatuan
lainnya yang menyebabkan terjadinya Peristiwa Banten Selatan. Bulan Februari
1950-1952, dia ditangkap dan dipenjarakan karena dianggap sebagai pelanggar
hukum Pemerintah RI. Kemudian, setelah bebas, Soekarno memberangkatkannya
melanjutkan sekolah di Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat
1952-1955. Di Jerman, dia menghimpun para pelajar Indonesia dan mendirikan
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).
Pada
Pemilu 1955, Partai Murba hanya beroleh 2 dari 257 kursi yang diperebutkan.
Kemudian, pada era Demokrasi Terpimpin, terbuka kembali peluang bagi Murba.
Soekarno membutuhkannya sebagai penyeimbang posisi PKI. Presiden RI Pertama (1945-1966)Presiden Soekarno
menghadiri Kongres Murba kelima, Desember 1959. Tokoh-tokoh Murba kemudian
diakomodasi dalam pemerintahan. Chaerul Saleh dan Prijono masuk kabinet, Adam
Malik dan Sukarni menjadi Duta Besar di Moskow dan Beijing. Tan Malaka pun
diangkat menjadi pahlawan nasional pada 1963.
Chaerul
Saleh yang kembali dari Jerman pada Desember 1956, diangkat menjadi Wakil Ketua
Umum Legiun Veteran RI. Kemudian, tanggal 9 April 1957 diangkat menjadi Menteri
Negara Urusan Veteran Kabinet Djuanda; Pada tanggal 10 Juli 1959 diangkat
menjabat Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja I (10
Juli 1959-1960); dan Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet
Kerja II dan Kabinet Kerja III (1960-1963). Bahkan menjabat Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965) dan Wakil Perdana Menteri III,
Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I (13 November 1963-1966).
Selanjutnya,
pertentangan antara Murba dan PKI menajam. Ketika itu PKI sudah semakin kuat.
Untuk mengimbangi, Murba membangun kerja sama dengan militer dan pihak lain dan
membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Namun anehnya, Bung Karno membubarkan BPS. Bahkan Sukarni dan
Syamsudin Chan ditahan pada awal 1965. Murba pun dibekukan dan kemudian
dibubarkan pada September 1965, dengan tuduhan menerima uang US$ 100 juta dari
CIA untuk menggulingkan Presiden. Namun, pada 17 Oktober 1966 Soekarno
merehabilitasi partai Murba melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.
Namun,
setelah peristiwa G30S/PKI, Chaerul Saleh ditahan oleh pemerintah Indonesia dan
meninggal dengan status tahanan pada tanggal 8 Februari 1967. Tidak pernah ada
penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya.
Atas
jasanya di bidang kemiliteran, dia mendapat pangkat Jenderal Kehormatan TNI AD.
Dia pun menerima sejumlah bintang jasa, antara lain Bintang Gerilya,
Satyalencana Peristiwa Aksi Militer II, Satyalencana Peringatan Perjuangan
Kemerdekaan, Bintang Mahaputra Tingkat III, Satyalencana Satya Dharma, Lencana
Kapal Selam RI, dan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Kemasyarakatan dari
Universitas Hasanuddin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar