Rabu, 13 Maret 2013

Biografi Chaerul Saleh



Chaerul Saleh lahir di Sawah Lunto, Sumatera Barat, 13 September 1916. Dia salah seorang tokoh perumus naskah proklamasi. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965) itu pernah juga menjabat Wakil Perdana Menteri III, Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I (13 November 1963-1966). Politisi yang dianugerahi pangkat Jenderal Kehormatan TNI AD, itu meninggal dalam status tahanan di Jakarta, 8 Februari 1967.

Chaerul Saleh bersama Wikana, Sukarni dan beberapa pemuda lainnya, menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok untuk mendesak kedua tokoh itu segera menyatakan dan menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia setelah kekalahan Jepang dari Sekutu pada Agustus 1945.
Tokoh proklamasi bernama lengkap Chaerul Saleh Datuk Paduko Rajo, itu mengawali pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) di Medan dan kemudian diselesaikannya di Bukittinggi (1924-1931). Kemudian dia melanjutkan ke HBS bagian B di Medan dan diselesaikannya di Jakarta (1931-1937). Lalu melanjutkan lagi ke Fakultas Hukum di Jakarta (1937-1942).


Dia menjabat Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (1940-1942). Kemudian setelah Jepang menduduki Indonesia, dia jadi anggota panitia Seinendan, dan masuk menjadi anggota Angkatan Muda Indonesia yang dibentuk Jepang. Namun, kemudian berbalik menjadi anti Jepang dan bertujuan Indonesia Merdeka. Dia pun ikut membentuk Barisan benteng, dan anggota PUTERA dan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Selanjutnya, dia menjabat Wakil Ketua Gerakan Angkatan Baru dan Pemuda. Chaerul Saleh bersama-sama dengan teman-temannya turut aktif dalam persiapan proklamasi.

         Presiden RI Pertama (1945-1966)Kemerdekaan RI. Ia bersama Wikana, Sukarni dan pemuda lainnya dari Menteng 31 menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok untuk mendesak segera menyatakan dan menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus1945.

Chairul Saleh bergabung dalam kelompok Persatuan Perjuangan yang dibentuk atas prakarsa Tan Malaka di Surakarta pada tanggal 4-5 Januari 1946. Semula kelompok Persatuan Perjuangan itu bernama Volksfront. Hal mana pada tanggal 15-16 Januari 1946 dibentuk Badan Tetap bernama Persatuan Perjuangan (PP). Program utama PP adalah menolak perundingan tanpa dasar pengakuan kemerdekaan 100%. Kala itu, PP didukung KNIP dan semua ormas.

Di dalam sidang KNIP di Solo, 28 Februari - 2 Maret 1946, KNIP menolak kebijakan Perdana Mentri Syahrir yang cenderung berunding dengan Belanda dengan hasil yang merugikan Indonesia. Akibatnya, Kabinet Syahrir jatuh. Persatuan Perjuangan mengharapkan Tan Malaka sebagai Perdana Mentri. Adam Malik mengajukan permohonan agar mandat diserahkan ke Tan Malaka, tetapi ditolak Soekarno. Bahkan, Soekarno menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Mentri (Kabinet Syahrir II) yang dibentuk 12 Maret 1946 dengan mengkompromikan sebagian pendapat Persatuan Perjuangan.

Atas jasanya di bidang kemiliteran, dia mendapat pangkat Jenderal Kehormatan TNI AD. Dia pun menerima sejumlah bintang jasa, antara lain Bintang Gerilya, Satyalencana Peristiwa Aksi Militer II, Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, Bintang Mahaputra Tingkat III, Satyalencana Satya Dharma, Lencana Kapal Selam RI, dan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Kemasyarakatan dari Universitas Hasanuddin.
Tetapi Persatuan Perjuangan tetap beroposisi. Kemudian pada 17 Maret 1946, beberapa tokoh politik, terutama dari Persatuan Perjuangan, ditangkap dan ditahan. Mereka antara lain Tan Malaka, Sukarni, Abikusno Cokrosuyoso, Chairul Saleh, M. Yamin, Suprapto dan Wondoamiseno. PP pun dibubarkan pada 4 Juni 1946, tetapi pengikut Tan Malaka tetap meneruskan oposisi. Tanggal 26 Juni 1946 pengikut Tan Malaka menculik Syahrir. Lalu, 3 Juli 1946 memaksa Soekarno membentuk pemerintahan sesuai konsep PP. Namun, Soekarno bergeming, tetap menunjuk Syahrir sebagai Perdana Menteri (Kabinet Syahrir III) yang dilantik pada 2 Oktober 1946.
Kemudian, Kabinet Syahrir mengadakan Perjanjian Linggarjati di selatan Cirebon pada tanggal 10 Nopember 1946. Didukung PKI, Pesindo, BTI, Lasykar Rakyat, Partai Buruh, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Namun, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai wanita, Angkatan Comunis Muda (ACOMA), Partai Rakyat Indonesia, Laskar Rakyat Jawa Barat, Partai Rakyat Jelata menolak. Sementara, Dewan Pusat Kongres Pemuda tidak menyatakan pendapat untuk menjaga anggota mereka yang berbentuk federasi.
Pada 27 Juni 1947 Syahrir mengundurkan diri dan digantikan Amir Syarifuddin 3 Juli 1947. Namun tak sampai satu tahun, Kabinet Amir Syarifuddin jatuh karena mengadakan Perjanjian Renville. Pada 23 Januari 1948, Amir menyerahkan mandatnya. Sebagai penggantinya, Kabinet Hatta diumumkan 31 Januari 1948. Hatta berusaha mengakomodasi koalisi Nasasos. Hatta menawarkan tiga kursi kepada sayap kiri, tetapi mereka menuntut 4 kursi termasuk menteri pertahanan. Hatta menolak dan akhirnya hanya memberikan satu kursi kepada sayap kiri yakni Supeno atas nama perorangan sebagai Menteri Pembangunan dan Pemuda. Sisanya diduduki oleh Masyumi, PNI, Parkindo dan Partai Katolik.
Sementara, Amir Syarifuddin beroposisi dengan membentuk FDR dan mengadakan pemogokan Delanggu. Untuk mengimbangi FDR, Soekarno melepaskan Tan Malaka, 3 Juli 1948. Tan Malaka dan pengikutnya mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner pada tanggal 6 Juni 1948 dengan pimpinan Dr. Muwardi (Ketua), Syamsu Harya Udaya (Wakil Ketua) dan Chairul Saleh (Sekretaris).

Pada 13 September 1948, Dr Muwardi diculik dan dibunuh PKI. Pecah perang antara Barisan Banteng (pro GRR) dengan Pesindo (FDR). Pada 17 September Kolonel Gatot Subroto ditunjuk menjadi Gubernur Militer Surakarta, Madiun, Semarang dan sekitarnya. Perintah Gatot untuk menghentikan tembak menembak 18 September 1948 tidak efektif karena di Madiun PKI memberontak dipimpin Muso.

Kemudian setelah PKI ditumpas, GRR mengadakan manuver politik. M. Yamin menganjurkan membentuk pemerintahan atas dasar triple platform, agama, nasionalis dan sosialis, untuk memperoleh dukungan rakyat. GRR pun berkonsolidasi. Pada 3 Oktober 1948, GRR dengan partai sehaluan yakni Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Comunis Muda (ACOMA) dan wanita Rakyat berfusi menjadi Murba. Chaerul Saleh salah seorang tokoh yang bergabung dalam Partai Murba, bersama Adam Malik, Sukarni, Prijono dan lain-lain.

Ketika Agresi Militer Belanda II, Desember 1948, Murba bergerilya, Chairul Saleh dengan Barisan Bambu Runcing di Jawa Barat, Sukarni dan kawan-kawan di Yogya dan Jawa Tengah, Tan Malaka bergabung dengan batalion Mayor Sabaruddin di Jawa Timur. Chairul Saleh turut bersama Divisi Siliwangi melakukan Long March dari Presiden RI (1972-1978)Yogyakarta ke Karawang dan Sanggabuana. Kemudian, dia bergabung dengan Divisi Tentara Nasional 17 Agustus di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wahidin Nasution.

Karena tidak setuju dengan adanya KMB, Chairul Saleh melarikan diri dari Jakarta ke Banten bersama anggota kesatuan lainnya yang menyebabkan terjadinya Peristiwa Banten Selatan. Bulan Februari 1950-1952, dia ditangkap dan dipenjarakan karena dianggap sebagai pelanggar hukum Pemerintah RI. Kemudian, setelah bebas, Soekarno memberangkatkannya melanjutkan sekolah di Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat 1952-1955. Di Jerman, dia menghimpun para pelajar Indonesia dan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).

Pada Pemilu 1955, Partai Murba hanya beroleh 2 dari 257 kursi yang diperebutkan. Kemudian, pada era Demokrasi Terpimpin, terbuka kembali peluang bagi Murba. Soekarno membutuhkannya sebagai penyeimbang posisi PKI. Presiden RI Pertama (1945-1966)Presiden Soekarno menghadiri Kongres Murba kelima, Desember 1959. Tokoh-tokoh Murba kemudian diakomodasi dalam pemerintahan. Chaerul Saleh dan Prijono masuk kabinet, Adam Malik dan Sukarni menjadi Duta Besar di Moskow dan Beijing. Tan Malaka pun diangkat menjadi pahlawan nasional pada 1963.
Chaerul Saleh yang kembali dari Jerman pada Desember 1956, diangkat menjadi Wakil Ketua Umum Legiun Veteran RI. Kemudian, tanggal 9 April 1957 diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Veteran Kabinet Djuanda; Pada tanggal 10 Juli 1959 diangkat menjabat Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja I (10 Juli 1959-1960); dan Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III (1960-1963). Bahkan menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965) dan Wakil Perdana Menteri III, Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I (13 November 1963-1966).

Selanjutnya, pertentangan antara Murba dan PKI menajam. Ketika itu PKI sudah semakin kuat. Untuk mengimbangi, Murba membangun kerja sama dengan militer dan pihak lain dan membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Namun anehnya, Bung Karno membubarkan BPS. Bahkan Sukarni dan Syamsudin Chan ditahan pada awal 1965. Murba pun dibekukan dan kemudian dibubarkan pada September 1965, dengan tuduhan menerima uang US$ 100 juta dari CIA untuk menggulingkan Presiden. Namun, pada 17 Oktober 1966 Soekarno merehabilitasi partai Murba melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.
Namun, setelah peristiwa G30S/PKI, Chaerul Saleh ditahan oleh pemerintah Indonesia dan meninggal dengan status tahanan pada tanggal 8 Februari 1967. Tidak pernah ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya.
Atas jasanya di bidang kemiliteran, dia mendapat pangkat Jenderal Kehormatan TNI AD. Dia pun menerima sejumlah bintang jasa, antara lain Bintang Gerilya, Satyalencana Peristiwa Aksi Militer II, Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, Bintang Mahaputra Tingkat III, Satyalencana Satya Dharma, Lencana Kapal Selam RI, dan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Kemasyarakatan dari Universitas Hasanuddin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar